Kamis, 15 Maret 2018

Marketing Politik dan Politik Multikultural

1. Marketing Politik





  • Pengertian
Marketing politik ada yang mengatakan terlihat pada awalnya pada kampanye bagi kepentingan Napoleon di Mesir, tindakan Talleyrand dalam memberikan saran kepada Menteri Hubungan Luar Negeri Perancis saat itu, akan tetapi, sebagian besar lebih merujuk kepada Joseph Goebbels dengan film-film dari Leni Riefenstahl melalui slogan-slogan politik dari Nazi dan pemerintahan Reich Ketiga yang saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler sebagai bagian dari propaganda politik akan tetapi hal ini akan masih juga harus melalui perdebatan yang kompleks mengenai terminologi. Dalam marketing politik modern sebetulnya merupakan elaborasi yang dilakukan oleh para profesional iklan merupakan produk asal Amerika Serikat. Semasa ketika Presiden Franklin D. Roosevelt menjabat sekitar tahun 1932 sudah terdapat sebuah program penyiaran melalui media radio yang lebih terkenal dengan nama program Fireside Chats dengan Franklin D. Roosevelt baru kemudian pada tahun 1933 di California berdiri sebuah perusahaan biro iklan yang pertama kali dalam marketing politik adalah Campaign, Inc.

  • Contoh
Kemenangan Jokowi-Ahok putaran pertama Pilkada DKI tak bisa terlepas dari marketing politik. Artinya, kemenangan Jokowi-Ahok adalah kemenangan marketing politik karenaberhasil membentuk pelbagai makna politis dalam pikiran para pemilih, menjadi oreantasi perilaku yang akan mengarahkan pemilih untuk memilih kontestan tertentu. Makna politis inilah yang menjadi output penting marketing politik, menentukan pihak mana yang akan di coblos para pemilih di bilik suara. Rahasia kemenangan Jokowi-Ahok putaran pertama Pilkada DKI dapat dianalisis melalui marketing politik. Elemen dari marketing politik terdiri dari;person, policy, party dan pull marketing. Pertama, figur (person) atau ketokohan kandidat yang bertarung dalam Pilkada, kualitas (person) dapat dilihat dari dimensi kualitas instrumental, dimensi ’simbolis’ dan ”fenotipe optis”. Pasangan calon gubernur Jokowi-Ahok telah mampu mengelola semua elemen (person) dengan baik, contoh dimensi simbolis adalahbaju kotak-kotak merupakan keberhasilan Jokowi dalam membangun ‘branding’ dan ‘trend’ sebagai simbol kerakyatan, kesederhanaan dan berbicara apa adanya, termasuk membangun  simbol figur dengan mendukung mobil nasional Esemka semakin menguatkannya menjadi pemimpin yang punya narasi, visioner dan kapasitas.Keberhasilan pencitraan melalui simbol ”positioning”,  membentuk serangkain makna figur (person) Jokowi. Yang menariknya lagi  ketika Jokowi naik Metro Mini atau odong-odong, kelihatan berjalan alamiah. Sifat fenotipe optis,seperti yang muncul dari individu Jokowi yaitu sifat merakyat, efek refleks tanpa dibuat-buat dan sudah menjaditrah jiwanya. Jokowi mengirim pesan, kemudian pesan diterima oleh masyarakat  dengan antusias dan empati. Lain halnya ketika Foke naik Kopaja terlihat biasa-biasa saja bagi masyarakat, kerena tak ada kesan karena cenderung terlihat dipaksakan, narasi Foke naik Kopaja berbeda aura dan pesan yang diterima rakyat.Fenotipe optis potensi ini yang dimaksimalkan oleh Jokowi. Kedua,program kerja (policy). Rahasia kemenangan Jokowi-Ahok tak terlepas pelbagai pencitraan melalui keberhasilan program kerja yang mampu menyakinkan pemilih, sukses menjadi Walikota Solo dan dominasi Walikota terbaik dunia oleh “The City Mayor Foundation 2012,kebanggaan rakyat Solo dibuktikan terpilih untuk kedua kali. Program kerja di dalamnya terdapat kebijakan yang ditawarkan kepada kontestan jika terpilih nanti dan  sudah dibuktikan selama menjadi pemimpin sebelumnya, termasuk menyakinkan solusi terhadap sebuah persoalan yang ada di depan mata masyarakat Jakarta seperti banjir, macet, kemiskinan dan kriminalitas yang dikelola secara professional. Program kerja (policy)menawarkan kepada kontestan dengan pesan,  membawa masyarakat ke arah yang lebih baik, sekedar mencontohkan ”Jakarta Baru”. Keberhasilan output (policy) adalah pemilih tak mengubah pilihannya sampai pada hari pencoblosan dibilik suara. Ketiga,mesin partai (party), kekuatan mesin partai politik relatif tak terlalu dominan pengaruhnya terhadap kemenangan Jokowi-Ahok pada putaran pertama, namun yang lebih dominan cenderung  figur (person)Jokowi. Mesin Partai Keadilan Sejahtera (PKS)  misalnya berjalan pada Pilkada DKI putaran pertama namun kenapa Hidayat Nur Wahid (HNW) kalah. HNW hanya dikenal pada tataran elite dan kader partai,  apalagi setelah menjadi ketua MPR nama HNW tak muncul alias menghilang, walaupun HNW figur yang sederhana dan bersih. Artinya kekuatan mesin partai tanpa figur (person) sulit untuk memenangkan Pilkada. Fenomena Faisal-Biem (indevenden) mengalahkan suara Alex Nono yang didukung partai sekaliber Golkar dan 11 Partai lainnya, sebab figur (person) Faisal relatif  lebih kuat. Itu artinya, mesin partai yang banyak dan kuat ternyata implikasinya juga tak  terlalu signifikan lantas menang dalam Pilkada. Keempat,iklan (pull marketing) adalah penyampaian produk politik dengan memanfaatkan instrumen media massa, media elektronik, spanduk dan baliho. Iklan yang massif di media televisi ditambah lagi dengan spanduk dan baliho yang hampir ada dimana-mana tak lantas membuat menang dalam Pilkada DKI. Perhatikan  pasangan Hidayat-Didik, Alex-Nono, dan Foke-Nara hampir setiap dinding dan tiang listrik tak absen foto kandidat tersebut. Berbeda sekali dengan Jokowi-Ahok yang relatif  lebih sedikit fotonya lewat poster, spanduk dan baliho yang terpasang sudut-sudut kota Metropolitan, namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Jokowi-Ahok bisa unggul putaran pertama Pilkada Gubernur  DKI Jakarta? Ternyata spanduk dan poster kandidat yang  terlalu banyak sehingga mengotori kota Jakarta relatif tak efektif, justru menimbulkan pesan tak empati. Nampak-nampaknya dari empat elemen marketing politik tersebut yang punya efek dominan pengaruhnya dalam kemenangan Pilkada adalah efek figur (person), itulah yang dimiliki Jokowi. Untuk Pilkada putaran kedua Jokowi-Ahok akan dihadapkan dengan kondisi-kondisi sulit dari rival. Pertanyaannya mampukah Jokowi-Ahok melewati masa-masa sulit tersebut seperti isu agama, etnis dan suku (SARA)?  Ahok beragama Kristen dan etnis Tionghoa,  akan dijadikan oleh rivalnya sebagai kampanye hitam. Isu SARA untuk 20 tahun yang lalu itu bisa, namun untuk zaman sekarang, justru berbahaya memainkan isu SARA justru akan mempertinggi kejatuhan yang memainkan isu SARA. Jakarta relatif lebih rasional dan cerdas, pemimpin yang punya kapasitas, narasi dan visioner akan memperkuat imunitas dari virus SARA. Pertarungan Foke-Jokowi pada pilkada putaran kedua mencerminkan politik Indonesia yang sesunguhnya,menjadi inspirasi baru Pilkada di daerah. Semoga!


2. Politik Multikultural





  • Pengertian

Politik multikultural adalah argumentasi yang menarik disodorkan untuk melengkapi sistem dan dinamika perpolitikan. Politik multikultural termasuk sistem politik yang tidak berazaskan pragmatisme komunalistik melainkan pada struktur politik yang dibangun untuk memperoleh kesejahteraan bersama.
Tidak sulit mengenal pemimpin yang multikulturalis karena kita telah menemukan mereka menyanjung budaya, adat, agama yang dianut oleh setiap orang pada suatu tempat. Ia bisa berbaur dengan petani, pedagang, kalangan birokrat, agamawan, dan lain sebagainya karena mereka telah menempa diri untuk mengenal dan mempelajari semua orang. Tetapi menjadi sulit dipahami kalau pemimpin itu sedang melakukan kampanye politik.
Corak pemimpin multikulturalis mampu beradaptasi dengan segala budaya masyarakat yang berbeda. Inilah yang harus diperhatikan oleh masyarakat sebagai pemilih yang akan memilih calon bupati/walikota dan gubernur bulan depan.
  • Contoh
sejak awal istilah Jawa wanita mulai digunakan lebih luas daripada istilahperempuan dari bahasa Melayu. Istilah perempuan menyiratkan makna yang lebih dinamis dan kuat tentang kewanitaan sebagaimana dimanifestasikan oleh para pemimpin perempuan melayu yang terkenal dalam sejarah Melayu-Indonesia. Sebaliknya, wanita mengandung konotasi suatu gaya lady-likeatau perilaku perempuan yang halus budi bahasanya. Penekanannya bukan hanya pada kehalusan itu, melainkan suatu kehalusan budi bahasa yang hanya ada dalam masyarakat Jawa kelas atas.
Sementara pada masa pemerintahan presiden Soeharto, pembangunan gender di Indonesia bersifat politis dalam artian bahwa proses pembentukan bangsa yang dibangun pada saat itu tidak hanya tergantung pada perkembangan ekonomi atau upaya membangun negara yang mandiri secara politis, melainkan juga bagaimana mengajari masyarakat mempertahankan peran – peran dan kedudukan mereka yang terbatas.
Munculnya budaya dan Jawa elite sebagai bangunan makro ideologis orde baru Soeharto telah menciptakan citra hegemoni dan hegemonis perempuan. Ekspresi kultural dari cita – cita ini adalah perempuan yang menikah tanpa lelah membaktikan hidupnya kepada suami dan anak – anak. Kesuksesan karier laki – laki dan pendidikan anak – anak menjadi parameter yang menunjukkan kesuksesan peran istri.
Selain mengendalikan militer sebagai basis kekuasaannya, Soeharto juga menuntut para pejabat pemerintah menjadi anggota partai Golongan Karya. Partai ini memiliki program yang dikenal dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang mana pemerintah memasukkan pandangan – pandangan hegemonis dalam segala hal, dari masalah kepresidenan hingga status perempuan dan para istri.
Dalam era yang menyuruh perempuan menerima sebuah tipe ideal mengenai feminitas dan maskulinitas yang dibangun untuk rezim tersebut. Ideologi ini menjadi pembatas kemampuan perempuan untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan kultural dan strategis mereka.
Gerakan reformasi yang muncul di akhir rezim Soeharto membawa peluang baru bagi perempuan untuk menengok kembali perlakuan – perlakuan sosial dan politik yang bersifat membatasi tersebut. Dalam lingkungan yang baru, diharapkan perempuan akan diberi kebebasan memilih perwakilan mereka yang konsisten dengan keadaan mereka sendiri tanpa stigma sosial.
Demokrasi yang merupakan aspirasi kita semua mensyaratkan agar kita menghilangkan sikap – sikap priyayi elite Jawa yang memungkinkan kaum elite menjalankan kekuasaannya terhadap kaum perempuan. Karena kaum elite tersebut mendapat tambahan legitimasi dari ajaran – ajaran agama yang konservatif, maka kunci penting untuk mengupayakan hal ini kita juga harus melatih perempuan untuk mengembangkan dan mengemukakan interpretasi – interpretasi progresif mereka akan tradisi religius mereka kalau hal tersebut menyangkut dua jenis kelamin bukan hanya untuk laki – laki saja. Pengakuan atas pandangan – pandangan perempuan dalam menangani segala aspek kehidupan merupakan bagian integral dari demokrasi dan masyarakat plural. Agar pendekatan pluralistik gender bisa berjalan, berarti kaum perempuan harus diberi hak memilih ekspresi – ekspresi heterogen bagi mereka sendiri.


Sumber:
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-marketing-politik/14177
http://aceh.tribunnews.com/2017/01/31/politik-multikultural
http://nicofergiyono.blogspot.co.id/2013/09/politik-multikulturalisme-di-indonesia.html

Teknik Pengambilan Foto !!! PART 6

Hai teman-teman semua kambali lagi pastinya yaa, teknik foto berikut sedikt agak beda, langsung cek kuyy !! 1. Human Interest / Daily L...